Asal-usul Cabai, Si Pembangkit Selera Makan Orang Indonesia

05 Juni 2020

Food & Travel

oleh: Fendy Kurniawan (PU-X) 


Sebagai pembangkit selera makan yang "ampuh", sambal menjadi sesuatu yang sulit dipisahkan dari lidah masyarakat Indonesia. Contohnya bagi masakan Padang, cabai bahkan dianggap sebagai bahan makanan pokok ke-sepuluh (alih-alih sembilan). Kepopuleran sambal di Indonesia tidak lepas dari peran J.M.J. Catenius van der Meijden, ahli kuliner asal Belanda yang cukup berpengaruh di masa kolonial. Sebagai ibu rumah tangga, sehari-hari Catenius dibantu dengan pembantunya, bertugas menyiapkan hidangan istimewa bagi keluarganya. Catenius sangat ahli memasak berbagai macam makanan, khususnya sambal.

Resep andalannya ia tuangkan menjadi sebuah buku yang berjudul "Groot nieuw volledig Oost-Indisch Kookboek" (Buku Masakan Hindia Timur Baru yang Hebat) dan pertama kali terbit pada tahun 1902. Hingga tahun 2014, buku legendaris ini masih dicetak ulang karena terus diburu. Resep sambal Catenius yang sering kita jumpai sampai sekarang adalah sambal goreng dan sambal eoloek (ulek). Selain sambal, terdapat banyak resep masakan khas nusantara lainnya, seperti nasi goreng, nasi liwet, gado-gado, kue putu, dan kue bugis,

Cabai yang merupakan bahan utama sambal sendiri mulanya berasal dari benua Amerika, dalam bahasa latin dinamai Piper Retrofractum. Pedagang Spanyol dan Portugis dipercaya menjadi "agen" cabai di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Lewat buku "Tropical Herbs and Spices of Indonesia" karya Wendy Hutton, orang Portugis diklaim yang pertama kali membawa dan memperkenalkan biji cabai ke Indonesia, tepatnya pada abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Namun, data lain menunjukkan apabila cabai sebenarnya telah dikenal di Indonesia jauh sebelum itu. Seorang arkeolog bernama Titi Surti Nastiti dalam bukunya "Pasar di Jawa pada masa Mataram kuna abad VIII-XI Masehi", mengatakan bahwa teks Ramayana abad ke-10 menyebut cabai sebagai salah satu jenis makanan pangan. Dan di masa jawa kuno, cabai menjadi komoditas perdagangan.

Cabai termasuk buah/tumbuhan anggota genus Capsicum yang mudah ditanam. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung cara mengolahnnya. Cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C yang berfungsi meningkatkan proses metabolisme, memaksimalkan penyerapan zat besi, sifat antiradang, serta antioksidan pencegah tumbuhnya sel kanker. Selain itu, cabai mengandung minyak atsiri capsaicin (kapsaisin). Kapsaisin lah yang menyebabkan sensasi pedas dan cenderung panas, bahkan "terbakar".

Sensasi pedas dan terbakar yang kita rasakan ketika mengonsumsi cabai terjadi karena ada reseptor saraf tertentu pada tubuh kita yang peka terhadap rasa panas. Contohnya adalah saat bersentuhan dengan lidah, dinding kerongkongan, atau dinding lambung, maka molekul kapsaisin akan berhubungan dengan reseptor saraf yang menangkap sinyal nyeri. Sinyal tadi kemudian diteruskan ke otak yang kemudian mengartikannya sebagai rasa sakit dan sensasi terbakar yang menyerang tubuh. Senyawa kapsaisin membuat lambung merespons dengan cara memproduksi lendir untuk melindunginya dari iritasi, respon yang biasa kita rasakan adalah rasa panas dan terbakar di area lambung.

Ketika sistem pencernaan terlalu sering terpapar senyawa kapsaisin, maka efektivitas dari lendir pelindung yang dihasilkan lambung menjadi berkurang. Hasilnya, perut kerap kali terasa mulas karena teriritasi senyawa kapsaisin. Saat seseorang sudah memiliki riwayat masalah pencernaan, maka kapsaisin atau makanan yang pedas dalam jumlah sedikit saja bisa menimbulkan rasa mulas. Oleh karena itu, disarankan agar tidak mengonsumsi makanan pedas secara berlebihan, terutama saat perut kosong dan sebelum tidur karena meningkatkan refluks asam lambung naik, iritasi lambung, dan iritasi usus.  


(Sumber Referensi: Bobo, Kompas, Wikipedia).