Adidas vs. Puma (Bagian Ketiga-Selesai)

06 Mei 2020

Sport

Oleh: Fendy Kurniawan (PU-X)

Rudi meninggal dunia pada 27 Oktober 1974, empat tahun berselang, tepatnya pada 6 Desember 1978, Adi tutup usia. Hingga akhir hayatnya, dikatakan dua saudara kandung ini tidak pernah berupaya merekonsiliasi hubungan mereka. Liang lahat keduanya terletak berjauhan meski berada di kompleks pemakaman yang sama di Herzogenaurach. Setelah itu, Käthe (istri Adi) didapuk sebagai CEO Adidas dengan dibantu Horst.

Selain keluarga, hubungan panas Rudi dan Adi turut merembet ke “fanatisme” penduduk kota Herzogenaurach yang terbelah antara utara dan selatan sungai Aurach. Hampir dipastikan warga di sebelah utara hanya mengenakan produk buatan Adidas, dan sebaliknya warga di sebelah selatan hanya menggunakan produk Puma. Hal ini menjadikan Herzogenaurach dijuluki “The Town of Bent Necks” lantaran kebiasaan penduduknya yang melihat merek sepatu atau pakaian seseorang sebagai pertimbangan apakah akan bicara padanya atau tidak.

Nasib mujur menaungi Puma pada tahun 1982, sebelum bergulirnya Piala Dunia, Puma sukses merayu Diego Maradona menjadi brand ambassador, pesepakbola legendaris asal Argentina yang disejajarkan dengan Pelé. Empat tahun kemudian, dalam perhelatan Piala Dunia 1986, Maradona dengan sepatu Puma King membawa Argentina sebagai juara. Di tahun yang sama Puma resmi menjadi perusahaan go public.

Horst mengambil penuh tanggung jawab penuh Adidas pasca wafatnya Käthe pada 31 Desember 1984. Sebelumnya, sembari membantu Adidas, Horst mendirikan perusahaan pemasaran olahraga pertama di dunia. Salah satu pencapaian perusahaan Host adalah konsultan FIFA, ia menyarankan FIFA membutuhkan banyak uang untuk menyelenggarakan Piala Dunia, oleh karena itu dibutuhkan sponsor besar. Hasilnya Coca-Cola bersedia menjadi sponsor, disusul McDonald's dan Levi’s.

Horst Dassler meninggal pada 9 April 1987 di usia 51 tahun. Adidas menjadi limited company pada 1989, dan adik-adik perempuan Horst melanjutkan operasional perusahaan. Efek kehilangan Horst sangat terasa, krisis melanda Adidas jelang akhir 1980-an. Adik-adik perempuan Horst menjual seluruh saham mereka pada tahun 1990 dan meninggalkan perusahaan.

Usai go public, Armin mundur dari jabatan CEO Puma. Bersamaan itu, krisis keuangan menghampiri Puma dan pengganti Armin gagal mengatasi krisis tersebut. Disebut karena depresi, Armin jatuh sakit dan tutup usia pada 14 Oktober 1990.

Awal 1990-an, Adidas dan Puma belum mampu keluar dari krisis, kebangkrutan terus menghantui mereka, belum lagi tekanan dari pesaing lain seperti Reebok dan Nike. Khususnya Nike, perusahaan asal Amerika Serikat yang menggoyang dominasi Adidas dan Puma.

Secara kebetulan Adidas dan Puma mendapat ‘nafas segar’ di tahun 1993. Pengusaha asal Perancis, Robert Louis-Dreyfus mengakuisisi Adidas dan menjadi CEO. Begitu juga dengan Puma, Jochen Zeitz ditunjuk sebagai CEO Puma. Keputusan ini terbukti tepat karena keduanya berhasil membawa masing-masing perusahaan keluar dari krisis.

Ketika ditunjuk sebagai CEO, Jochen Zeitz baru berusia 30 tahun dan menjadikannya CEO termuda di perusahaan Jerman. Berkat Zeitz, Puma dibawanya bangkit dan masuk jajaran tiga besar brand olahraga terbesar dunia. Keberanian Zeitz berinvestasi di benua Afrika adalah kunci kebangkitan Puma. Sebagai brand yang identik dengan olahraga atletik, Zeitz melihat kecocokan antara benua Afrika yang dianugerahi banyak atlet lari cepat dan filosofi logo Puma, yaitu hewan yang lincah dan gesit. Dimulai sejak era Zeitz sampai sekarang, Puma menjadi langganan sponsor bagi atlet dan tim sepakbola di benua Afrika.

Menggunakan prototipe yang dirancang Craig Johnson, mantan pemain Liverpool, Adidas melakukan inovasi dengan merilis sepatu sepakbola seri Predator pada tahun 1994. Seri Predator menjadi seri sepatu terlaris sepanjang sejarah penjualan Adidas dan seri tersebut masih update hingga saat ini.


Bersambung ...